berita69.org, Jakarta Sejumlah guru besar dan praktisi hukum mendesak pemerintah mencabut Peraturan Menteri Lingkungan alami Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014.
Sebab, Peraturan Menteri Alam Hidup tersebut dinilai malapraktik dan rawan menjadi bancakan untuk Pendapatan Kerajaan Bukan Pajak (PNBP).
Guru Besar Bidang Ekonomi global Kehutanan dan Lingkungan hidup, Fakultas Kehutanan IPB, Prof.
Dr.
Ir.
Sudarsono Soedomo menerangkan ada beberapa persoalan yang menjadi latar belakang untuk mendesak pemerintah mencabut Permen LH No 7 Tahun 2014.
Baca Juga
- Apa yang Dimaksud dengan Ekosistem: Pengertian, Komponen dan Jenisnya
- Resolusi World Lake Day Jadi Bagian Diplomasi Indonesia Terkait Isu Konservasi
- Pupuk Kaltim Wujudkan Komitmen ESG, Begini Caranya
Ia menyampaikan mulai dari metode penghitungan kerugian alam yang menggelembung karena elemen yang terhitung dua kali, bahkan bisa 3 kali hingga penggunaan aturan tersebut sebagai penghitung kerugian domisili dalam kasus hukum.
Advertisement
Parahnya lagi, denda yang diperoleh wilayah hukum melalui putusan pengadilan tak lantas dikembalikan untuk pemulihan ekologi yang rusak.
"Kerugian itu dianggap sebagai penerimaan domisili bukan pajak.
Artinya jika kita ingin PNBP tinggi maka kerusakan bangsa harus tinggi, apa begitu, itukan salah logika," kata Sudarsono kepada wartawan di sela-sela diskusi bertajuk Menghitung Kerugian Kelestarian dengan Permen LH No 7/204, Tepatkah?" di Kampus IPB, Dramaga, Bogor, Jumat (13/12/2024).
Menurutnya, kepedulian terhadap ekologi tak serta merta mengorbankan kepentingan lain, termasuk ekonomi nasional.
"Kerugian ekologi itu, oke kita hitung, terus kemudian berapa kerugiannya?
Uang harus dikembalikan lagi pada lingkungan buatan.
Bukan PNBP.
Dikembalikan lagi ke alam.
Itu yang tidak terjadi," terangnya.
Celakanya, tutur Sudarsono, ahli yang ditunjuk menghitung kerugian dengan menerapkan Permen LH No 7/2014 di berbagai kasus hukum adalah ahli yang bersaksi.
Sehingga kesannya, republik secara tidak langsung menjadikan beleid tersebut sebagai bancakan untuk menaikkan PNBP dengan dalih kerusakan ekologi.
"Kurang lebih seperti itu (bancakan PNBP).
Jadi PNBP bukan dikembalikan ke lingkungan sekitar, tapi jadi mobil baru.
Yang menikmati bukan rakyat terdampak," ujar Sudarsono.
Untuk itu, ia mendorong pemerintahan Prabowo merevisi Permen LH No 7/2014, bahkan mendesak pemerintah segera menyusun peraturan baru guna menggantikan Permen LH No 7/2014 dengan melibatkan akademisi di forum-forum akademik untuk memastikan kebenaran prosedur dan metoda penghitungan yang digunakan.
Sehingga nilai kerugian alam dapat dipertanggungjawabkan dan memberi rasa keadilan bagi masyarakat.
"Sebelum ada peraturan baru tentang penghitungan kerugian lingkungan sekitar yang secara akademis ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, maka demi menjaga nama baik institusi, keterlibatan akademisi dalam penghitungan kerugian lingkungan alami sebaiknya terlalu dibatasi atau dihentikan sama sekali," tandasnya.