berita69.org, Jakarta Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Melchias Markus Mekeng, menegaskan bahwa pendidikan non-formal adalah pilar utama kemajuan sebuah bangsa.
Dalam pandangannya, sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada domisili yang mampu maju tanpa menempatkan edukasi sebagai inti dari kebijakan nasional.
Atas dasar itu, Mekeng meminta pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, untuk menata ulang alokasi anggaran pengajaran sebesar 20 persen dari APBN sesuai amanat konstitusi.
Ia menekankan bahwa dana tersebut seharusnya diprioritaskan untuk guru dasar, menengah, dan tinggi.
Adapun akademik kedinasan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2022, tidak boleh menggunakan porsi anggaran pendidikan formal 20 persen tersebut.
Baca Juga
- HNW Desak OKI Berada di Garda Terdepan Selamatkan Masjid Al-Aqsa dari Penguasaan Israel
- Ketimpangan Anggaran Pendidikan dasar, Fraksi Golkar MPR: Tak Bermimpi Indonesia Emas 2045 Terwujud
- Eddy Soeparno dan Pandawara Sepakat Kolaborasi jadi Kunci Atasi Krisis Sampah
“Sehingga kami berharap pada tahun anggaran 2026, anggaran edukasi mayoritas diberikan kepada akademik dasar, menengah, dan tinggi.
Sedangkan untuk anggaran pengajaran kedinasan, pemerintah harus menyiapkan dari sisi anggaran yang lain.
Tidak bisa diambil dari anggaran pendidikan non-formal yang 20 persen,” kata Mekeng kepada wartawan di sela-sela Sarasehan Nasional Fraksi Partai Golkar MPR RI dengan tema “Merumuskan Kembali Anggaran Pembelajaran Guna Mewujudkan Amanat Konstitusi Menuju Indonesia Emas 2045” di Gedung Pustakaloka, Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (8/8/2025).
Advertisement
Turut hadir dalam sarasehan nasional ini Wakil Ketua MPR Kahar Muzakir, Pimpinan Fraksi Partai Golkar MPR RI, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, Sekretaris Jenderal MPR Siti Fauziah, dan narasumber sarasehan nasional ini, yaitu Prof.
Dr.
Muhammad Nuh (Menteri Edukasi periode 2009-2014), Rektor Universitas Gadjah Mada Prof.
dr.
Ova Emilia, Rektor Universitas Trisakti Prof.
Dr.
Kadarsah Suryadi, Rektor Universitas Yarsi Prof.
Dr.
Fasli Jalal, Hendardi (Setara Institute).
Mekeng menjelaskan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 80 tahun 2022, pada pasal 80 ditegaskan bahwa pengalokasian APBN setiap tahunnya ditentukan sekurang-kurangnya sebesar 20% dari belanja bangsa, dan dari alokasi tersebut tidak termasuk biaya edukasi kedinasan.
Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24 Tahun 2007 sudah menghilangkan frasa dalam UU Sisdiknas pasal 49 agar anggaran pendidikan tinggi kedinasan tidak masuk dalam anggaran guru.
“Dan, ruh UUD NRI Tahun 45 pasal 31 tentang anggaran pendidikan formal itu adalah anggaran pembelajaran dasar, menengah, dan tinggi.
Tidak membahas tentang anggaran pendidikan non-formal kedinasan.
Kami tidak anti terhadap pendidikan formal kedinasan.
Tapi, kami minta pengajaran kedinasan pun disiapkan anggaran, tapi tidak mengambil dari anggaran akademik,” katanya.
Ketika membuka sarasehan, Mekeng menyebutkan pada tahun 2025 anggaran pembelajaran sebesar Rp 724 triliun.
Berdasarkan data alokasi APBN bidang pendidikan dasar, anggaran pendidikan dasar formal sebesar Rp 91,2 triliun (Kemendikdasmen memperoleh Rp 33,5 triliun dan Kemendiktisaintek mendapat Rp 57,7 triliun).
Anggaran sebesar itu digunakan untuk melayani 64 juta siswa/mahasiswa.
Anggaran untuk program strategis seperti PIP, riset, serta infrastruktur transportasi guru sebesar Rp 101,5 triliun.
Sementara anggaran pendidikan non-formal kedinasan sebesar Rp 104,5 triliun pada APBN 2025 diperuntukan bagi 13.000 mahasiswa.
"Apakah ini adil?
13.000 orang peserta pendidikan non-formal kedinasan mendapat Rp 104,5 triliun, sedangkan 64 juta siswa/mahasiswa hanya dikasih Rp 91,4 triliun," kata Mekeng.
Dari anggaran edukasi Rp 724 triliun, sebesar Rp 300 triliun dipakai untuk tranfer daerah.
"Transfer daerah itu adalah Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.
Itu tidak masuk dalam ranah pendidikan formal," tegasnya.
"Kami melihat anggaran 20 persen APBN untuk pendidikan tinggi sudah diberikan.
Tetapi penempatannya belum sesuai karena yang paling penting adalah pembelajaran dasar, menengah, dan tinggi.
Untuk itu dibutuhkan anggaran yang besar karena di daerah-daerah masih banyak fasilitas sekolah yang tidak layak, guru-guru tidak dibayar dengan layak, sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat,"