berita69.org, Jakarta - Penertiban truk over dimension dan overload (ODOL) tidak bisa dilakukan secara sekaligus.
Perlu pendekatan bertahap yang mempertimbangkan karakteristik setiap komoditas, struktur biaya logistik, serta dampaknya terhadap stabilitas harga barang dan tingkat inflasi.
Tanpa strategi berbasis data komoditas yang matang, upaya penegakan hukum justru berisiko menimbulkan gejolak komersial dan memperlebar ketimpangan di sektor moda transportasi barang.
Ketika Pelanggaran hukum Lebih Menguntungkan daripada Kepatuhan
Baca Juga
- Kata Pakar: No More Untouchables, Penetapan Tersangka Riza Chalid Bukti Keseriusan Prabowo Tegakkan Hukum
- Kata Pakar: Adaptif dan Taktis, Prabowo dan Seni Memimpin di Era Bising Narasi
- Kata Pakar: Menertibkan Kendaraan ODOL, Jangan Hanya Galak Tapi Juga Adil
Setiap pagi, di ruang tunggu yang sederhana di tepi gudang, Pak Budi—sopir truk pengangkut semen—selalu dihadapkan pada pilihan sulit: memuat sesuai aturan namun merugi, atau menambah muatan demi menyambung hidup, meski tahu risikonya besar.
Pilihannya kerap jatuh pada yang kedua.
“Kalau patuh aturan, uangnya cuma cukup buat solar.
Lha, anak istri saya makan apa?” keluhnya sambil mengusap keringat.
Cerita Pak Budi bukan sekadar soal pelanggaran hukum individu.
Ia mencerminkan betapa belum adilnya sistem logistik kita: ketika kepatuhan sering kali berarti kerugian, sementara pelanggaran etika malah menjadi jalan bertahan hidup.
Advertisement
Masalah truk over dimension and overload (ODOL) seperti yang dialami Pak Budi bukanlah hal baru.
Lebih dari satu dekade, isu ini terus menghantui sistem transportasi darat dan logistik nasional.
Hampir setiap tahun, wacana penertiban ODOL kembali mengemuka—melalui kebijakan baru, sorotan media, atau keluhan publik.
Namun kenyataannya, truk-truk bermuatan dan berdimensi berlebih tetap saja hilir mudik di jalan raya.
Ironisnya, semua pihak tahu ini masalah, tapi seakan menerima sebagai “kenormalan” dalam sistem distribusi barang kita.
Padahal, dampaknya pun tidak ringan.
Jalan-jalan yang seharusnya awet puluhan tahun rusak sebelum waktunya.
Angka kecelakaan lalu lintas meningkat karena kendaraan melebihi daya angkutnya.
Domisili pun harus merogoh anggaran besar hanya untuk menambal kerusakan yang sebenarnya belum perlu dilakukan.
Lebih ironis lagi, pelaku usaha yang memilih taat aturan justru kalah bersaing dengan mereka yang nekat melanggar demi menekan ongkos.
Di tengah sistem yang timpang ini, operator kecil seperti Pak Budi nyaris tidak punya pilihan selain ikut melanggar demi bertahan hidup.
Ujung-ujungnya, masyarakat juga yang menanggung bebannya— mulai dari risiko keselamatan di jalan sampai harga barang yang tak stabil akibat biaya logistik yang tidak efisien dan tidak transparan.