berita69.org, Jakarta- Konten hoaks yang diproduksi inovasi Al khususnya pemanfaatan deepfake untuk memanipulasi informasi semakin beragam dan bertambah sebarannya dalam satu tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, kondisi ini perlu kolaborasi lintas sektor untuk menjaga kedaulatan informasi digital Indonesia.
Ketua Presidium Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho mengatakan melalui riset yang dilakukan sejak 21 Oktober 2024 hingga 19 Oktober 2025, Mafindo memetakan 1,593 hoaks berdasarkan tema, target, saluran, tipe narasi, serta penggunaan Al dalam pembuatannya.
Ini 7 Bahayanya Bisa Ancam Data Pribadi hingga Masalah Mental
Hasil riset menunjukan adanya tren yang mengkhawatirkan dalam pola penyebaran disinformasi.
Penggunaan inovasi deepfake meningkat tajam, terutama dalam konten bermuatan politik luar negeri dan sosial, sehingga menantang kemampuan publik dan media dalam melakukan otentikasi informasi.
Advertisement
“Selama satu tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, hoaks terus diproduksi dan berevolusi, menyusup disetiap gap regulasi dan gap literasi digital masyarakat.
Evolusi dalam bentuk konten deepfake yang mudah diproduksi namun semakin sulit dideteksi sudah mengadu domba masyarakat Indonesia,” kata Septiaji, Rabu (22/10/2025)
Meningkatnya deepfake, konten hoaks yang diproduksi teknologi terbaru Al, baik untuk pollitik maupun tema lain, menjadi ancaman serius bagi ekosistem informasi digital.
Septiaji mencontohkan, video deepfake Sri Mulyani dengan nada merendahkan guru mampu memantik kemarahan masyarakat hingga menormalisasi perusakan dan perundungan.
Contoh lain, deepfake “Ibu Ana berkerudung pink” dibuat untuk mendelegitimasi kelompok aksi penyampaian aspirasi.
Bersamaan dengan itu, scam dan modus penyamaran digital berkembang semakin kompleks dan menyebabkan kerugian finansial besar bagi masyarakat.
Banyak kasus penyamaran digital kini menumpang pada nama program-program pemerintah dan lembaga BUMN, seperti bantuan sosial, proyek infrastruktur publik, hingga lowongan kerja.
Pola ini memanfaatkan kepercayaan publik terhadap institusi negeri untuk menjerat korban melalui pesan berantai, situs palsu, dan iklan rekrutmen fiktif.
"Kami menemukan scam kini semakin canggih karena sudah memanfaatkan AI dan big data hasil kebocoran data pribadi," tuturnya.