berita69.org, Jakarta - Fenomena munculnya pengibaran bendera bajak laut “Jolly Roger” dari serial anime One Piece menjadi cerminan dinamika baru dalam era budaya populer.
Di tengah arus globalisasi, generasi muda tak sekadar menjadi penikmat budaya global, tetapi juga mulai menjadikannya sebagai bagian dari identitas diri.
Ini sekaligus menantang cara pandang lama mengenai simbol kebangsaan.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sekretaris Fraksi PKS MPR RI, Johan Rosihan, dalam keterangan tertulis pada Kamis (7/8/2025).
Baca Juga
- Soal Pengibaran Kain One Piece, Fraksi PKB MPR RI Minta Pemerintah Bijaksana dan Mengingat Sikap Gusdur
- Respons Pengibaran Bendera One Piece, Fraksi PKB MPR RI Ingatkan Pemerintah untuk Bertindak Bijak
- Tanggapi Fenomena Bendera One Piece, Ibas Ajak Generasi Muda Junjung Tinggi Merah Putih
Menurut Johan, yang menjadi sorotan bukanlah kecintaan pada budaya pop atau fandom-nya, tetapi bagaimana simbol-simbol tersebut dimaknai dan digunakan.
Mengibarkan bendera bajak laut di puncak gunung Indonesia membawa konsekuensi simbolik yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Advertisement
“Seolah menyandingkan atau bahkan menggantikan simbol nasional.
Tindakan ini, disengaja atau tidak, telah menyentuh wilayah sensitive dalam kesadaran berbangsa,” ungkapnya
Johan mengatakan bahwa bendera Merah Putih bukan hanya kain berwarna, tetapi simbol sah kedaulatan bangsa sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 UUD NRI 1945 dan diperkuat melalui UU No.
24 Tahun 2009.
Secara eksplisit menyatakan bahwa bendera domisili tidak boleh diperlakukan secara sembarangan, apalagi digantikan oleh simbol lain di ruang-ruang yang bersifat resmi atau publik.
“Dengan kata lain, perlakuan terhadap bendera kerajaan adalah bagian dari penghormatan terhadap kedaulatan dan martabat bangsa,” tegasnya
Di sisi lain, Johan menyampaikan tindakan mengibarkan bendera fiksi sebagai pengganti Merah Putih bukan hanya pelanggaran etika kebangsaan, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran peraturan hukum.
Meski pelakunya mungkin tidak menyadari dampaknya, tanah air tetap memiliki kewajiban untuk menegakkan aturan yang melindungi simbol-simbol kedaulatan.
Oleh karena itu, perlu ada penguatan regulasi dan penegakkan hukum secara bijak namun tegas.
Negeri tidak boleh membiarkan tindakan ini menjadi trend karena akan menciptakan preseden negatif yang menurunkan nilai simbolik tanah air dalam benak politik global.
Budaya global bukan suatu hal yang perlu dimusuhi, namun ketika budaya pop dari luar negeri mulai menggantikan simbol-simbol kebangsaan, maka Indonesia sedang menghadapi krisis identitas yang nyata.
Fenomena ini menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia belum cukup mengakar secara kultural dalam generasi muda.
Mereka hidup dalam dunia digital yang tanpa batas, tetapi tidak cukup dibekali dengan fondasi nilai kebangsaan yang kuat.
“Disinilah pentingnya revitalisasi narasi kebangsaan.
Kita harus belajar menyampaikan nasionalisme dalam bahasa yang dipahami dan dirasakan oleh generasi digital.
Merah Putih harus tampil bukan hanya di dinding kelas, tapi juga dalam meme, lagu, film, dan budaya digital yang mereka konsumsi setiap hari,” kata Johan